Akhirnya ku menghapus akun Instagramku.....

Mei 19, 2020



Kemarin, aku menghapus akun Instagram personalku.




Iya dihapus permanen, bukan sekedar nonaktif lalu kembali lagi seperti yang kerap terjadi sebelum-sebelumnya. Selang beberapa hari yang lalu pun aku telah menghapus dan meng-uninstall Twitter-ku, dan kalau Facebook, memang sudah lama tidak pernah kubuka lagi.




Sebelum memutuskan untuk menghapusnya, tentu bukanlah hal yang mudah, apalagi cukup banyak kenangan yang terjadi di akun tersebut. Tetapi, setelah melakukan banyak research, membaca dan menonton pengalaman orang lain yang sudah lebih dulu quit social media, aku jadi semakin mantap. Terlebih setelah menonton YouTuber minimalist kesukaanku, Kak Kia dari channel Meaningful Minimal yang telah 2 tahun tidak menggunakan sosial media.


Lalu, apakah aku akan 100% tidak menggunakan sosial media sama sekali?
Oktober 2019 lalu, aku baru saja membuat akun Bookstagram. Dan aku merasa nyaman di sana. Mayoritas followersku di sana juga Bookstagrammer dan aku pun lebih banyak memfollow akun sejenis sehingga apa yang muncul di timelineku lebih seragam, positif dan tidak toxic. Tidak ada selfies, tidak ada postingan kehidupan temanmu yang membuatmu insecure dan tidak ada postingan-postingan yang menjadi wadah debat kusir manusia yang menyerang sesama sudaranya hanya karena perbedaan isi kepala.


Jadi, mungkin yang aku lakukan ini bukan sepenuhnya quit  atau meninggalkan sosial media, tapi lebih ke detox dan memulai menggunakan sosial media dengan lebih bijak. Lantas apa alasan yang melatar belakangi aku melakukan hal ini? Kenapa malah akun personal yang dihapus?


Di akun personalku, meski tidak mencapai 1000 followers, jumlah 700 followers cukup banyak untuk orang sepertiku. Teman-teman TK hingga kuliah, teman-teman relawan, teman-teman magang dan yang lainnya terkoneksi satu sama lain dalam satu flatform tersebut. Tapi, setelah ku pikir-pikir, koneksi tersebut hanya ilusi. Alih-alih mencari hiburan, sosmed malah membuatku merasa kesepian. Melihat orang lain jalan-jalan, melihat pencapaian orang lain yang sudah tinggi, atau melihat temanmu yang sudah asyik bersama teman barunya sedangkan kamu hanya scrolling timeline-mu sembari meringkuk di atas kasur. Sosial media menjadikan perkara silaturahmi bisa selesai dengan hanya melihat si A, si B, si C masuk ke dalam daftar viewer story-mu. Dunia maya-mu yang ramai akan selamanya menjadi maya. Setiap  react dan love yang kamu terima tidak benar-benar membuatmu merasa lebih ada dan dianggap ada.


Bahkan mungkin saat ini, dari 700 followers-ku, tidak akan ada yang sadar bahwa akunku sudah menghilang. Karena bagaimanapun, di dunia maya, eksistensimu bagi mereka juga hanya sebatas maya.


Selain dalam rangka self love dan self care, detox sosial media juga membuat aku menjadi lebih produktif. Screentime-ku berkurang, dan aku menggunakannya untuk membaca, belajar merajut, memotret buku untuk ku ulas di Bookstagram, bersih-bersih rumah dan belajar membuat kue. Selain membersihkan Instagram, aku juga membersihkan YouTube-ku. Aku telah meng-unsubs channel-channel yang sekiranya tidak memberikan benefit dan lebih banyak mengikuti channel-channel yang bisa membantu mengasah skill dan softskill. Aku juga berusaha menjaga riwayat tontonanku agar rekomendasi yang disajikan oleh algoritma YouTube-ku lebih rapi dan sehat.


Lantas bagaimana jika teman-temanmu ingin menghubungimu atau bagaimana jika kau ingin menghubungi temanmu?


Aku masih menggunakan WhatsApp dan Telegram sebagai sarana komunikasiku, dan aku tergabung dibanyak grup alumni dan grup-grup yang lain sehingga kontakku akan dengan mudah ditemukan dan aku pun dengan mudah menemukan kontak teman-temanku.


Aku hanya ingin menjalani hidup dengan pikiran yang lebih sehat dan menjadi manusia yang lebih produktif.

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images