Kemarin, aku menghapus
akun Instagram personalku.
Iya dihapus permanen,
bukan sekedar nonaktif lalu kembali lagi seperti yang kerap terjadi sebelum-sebelumnya.
Selang beberapa hari yang lalu pun aku telah menghapus dan meng-uninstall
Twitter-ku, dan kalau Facebook, memang sudah lama tidak pernah kubuka lagi.
Sebelum memutuskan untuk
menghapusnya, tentu bukanlah hal yang mudah, apalagi cukup banyak kenangan yang
terjadi di akun tersebut. Tetapi, setelah melakukan banyak research,
membaca dan menonton pengalaman orang lain yang sudah lebih dulu quit social
media, aku jadi semakin mantap. Terlebih setelah menonton YouTuber
minimalist kesukaanku, Kak Kia dari channel Meaningful Minimal yang telah
2 tahun tidak menggunakan sosial media.
Lalu, apakah aku akan 100%
tidak menggunakan sosial media sama sekali?
Oktober 2019 lalu, aku
baru saja membuat akun Bookstagram. Dan aku merasa nyaman di sana. Mayoritas followersku
di sana juga Bookstagrammer dan aku pun lebih banyak memfollow akun
sejenis sehingga apa yang muncul di timelineku lebih seragam, positif
dan tidak toxic. Tidak ada selfies, tidak ada postingan kehidupan
temanmu yang membuatmu insecure dan tidak ada postingan-postingan yang
menjadi wadah debat kusir manusia yang menyerang sesama sudaranya hanya karena
perbedaan isi kepala.
Jadi, mungkin yang aku
lakukan ini bukan sepenuhnya quit atau meninggalkan sosial media, tapi lebih ke
detox dan memulai menggunakan sosial media dengan lebih bijak. Lantas apa
alasan yang melatar belakangi aku melakukan hal ini? Kenapa malah akun personal
yang dihapus?
Di akun personalku, meski
tidak mencapai 1000 followers, jumlah 700 followers cukup banyak untuk orang sepertiku.
Teman-teman TK hingga kuliah, teman-teman relawan, teman-teman magang dan yang
lainnya terkoneksi satu sama lain dalam satu flatform tersebut. Tapi, setelah
ku pikir-pikir, koneksi tersebut hanya ilusi. Alih-alih mencari hiburan, sosmed
malah membuatku merasa kesepian. Melihat orang lain jalan-jalan, melihat pencapaian
orang lain yang sudah tinggi, atau melihat temanmu yang sudah asyik bersama
teman barunya sedangkan kamu hanya scrolling timeline-mu sembari
meringkuk di atas kasur. Sosial media menjadikan perkara silaturahmi bisa
selesai dengan hanya melihat si A, si B, si C masuk ke dalam daftar viewer
story-mu. Dunia maya-mu yang ramai akan selamanya menjadi maya. Setiap react dan love yang kamu terima
tidak benar-benar membuatmu merasa lebih ada dan dianggap ada.
Bahkan mungkin saat ini,
dari 700 followers-ku, tidak akan ada yang sadar bahwa akunku sudah
menghilang. Karena bagaimanapun, di dunia maya, eksistensimu bagi mereka juga
hanya sebatas maya.
Selain dalam rangka self
love dan self care, detox sosial media juga membuat aku menjadi
lebih produktif. Screentime-ku berkurang, dan aku menggunakannya untuk
membaca, belajar merajut, memotret buku untuk ku ulas di Bookstagram, bersih-bersih
rumah dan belajar membuat kue. Selain membersihkan Instagram, aku juga
membersihkan YouTube-ku. Aku telah meng-unsubs channel-channel yang sekiranya
tidak memberikan benefit dan lebih banyak mengikuti channel-channel yang
bisa membantu mengasah skill dan softskill. Aku juga berusaha
menjaga riwayat tontonanku agar rekomendasi yang disajikan oleh algoritma YouTube-ku
lebih rapi dan sehat.
Lantas bagaimana jika
teman-temanmu ingin menghubungimu atau bagaimana jika kau ingin menghubungi temanmu?
Aku masih menggunakan
WhatsApp dan Telegram sebagai sarana komunikasiku, dan aku tergabung dibanyak
grup alumni dan grup-grup yang lain sehingga kontakku akan dengan mudah ditemukan
dan aku pun dengan mudah menemukan kontak teman-temanku.
Aku hanya ingin menjalani
hidup dengan pikiran yang lebih sehat dan menjadi manusia yang lebih produktif.
- Mei 19, 2020
- 0 Comments